Sunday, September 18, 2011

KRAUTS!

So, guys, I want to share the short story that I made last week in order to complete and submitted my Bahasa Indonesia task. Even it's a fiction, I could proudly proof that every history fact in it is true.

Well, the background was The Battle of The Bulge(1944) where most American soldiers were having their Christmas in Belgium and my story focused to American paratroopers from the 101st Airborne, Regiment 506, Easy Company, that had been put in Bastogne town. Unfortunately, their supply access was disabled because the shifted Nazi's boundaries that also made those American paratroopers was surrounded by Germans. Lived in minimalism, lacked tacks situation, hell blessed.

Please welcome..



Jonathan Widi Presents...

KRAUTS!

Letnan Barney ‘Swift’ dan delapan anak buahnya baru saja kembali dari patroli tempur yang ia lancarkan sekitar satu setengah jam yang lalu. Sebenarnya ia membawa sembilan prajurit ketika ia meninggalkan pos Kompi Easy, Resimen ke 506, Divisi Lintas Udara 101 yang belokasikan di sebelah timur laut hutan Ardennes. Sayang dua serdadu tertembak. Seorang prajurit tertembak di dada kiri ketika terjadi serangan tiba-tiba pasukan Jerman saat patroli sedang tengah dilaksanakan dan tak mungkin untuk di evakuasi karena tembakan senapan-senapan pasukan Jerman menghujani posisi mereka. Yang satunya lagi tertembak di betis kanan ketika sedang berlari kembali ke pos setelah diperintahkan Letnan Swift untuk mundur.
 “Medik! Medik!”, teriak Prajurit Max Fridge yang menopang Prajurit Sean Parker yang terluka.
“Tenang, dimana ia tertembak”, kata Kopral ‘Doc’ Lambert, seorang anggota medis.
“Betis kanan, Doc”, jawab Max sambil menengkurapkan Prajurit Sean Pillsbury.
“Hmm, tidak terlalu buruk. Pembuluh arteri tidak terganggu. Lukanya kecil, sepertinya kau hanya terkena pecahan peluru, Sean. Biar kuberi morfin dahulu.”
“Tak usah diberi morfin, Doc. Aku rasa aku masih bisa mengatasi rasa sakit ini.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Langsung saja aku perban. Max, bantu aku mengangkatnya ke jip untuk di evakuasikan ke Bastogne.”
“Bagaimana lukanya, Doc?”, tanya Letnan Swift.
“Tidak serius, letnan. Ia sanggup kembali kesini beberapa hari lagi.”
“Permisi, pak. Sepertinya Kolonel Sink akan bertemu dengan anda di kota. Kau bisa ikut dengan kami.”, Prajurit Hanks, pengemudi jip; menyampaikan pesan Kolonel Sink.
“OK, prajurit”
            Letnan Swift beserta Doc, Sean, dan Hanks pergi dari garis depan. Dalam perjalanan menuju kota Bastogne yang biasa ditempuh dalam waktu empat jam dari garis depan, Letnan Swift memejamkan matanya sejenak untuk mengistirahatkan pikirannya. Sudah banyak hal terjadi yang sulit ia terima dalam peperangan kali ini. Sejak diturunkannya Divisi Pasukan Lintas Udara 101, Divisi Kendaraan Lapis Baja ke 10 dan Batalyon Tank Penghancur ke 705 tanggal 18 Desember 1944 malam ke kota Bastogne yang dianggap merupakan titik vital di strategi peperangan pihak sekutu dalam usaha menuju kemenangan perang dunia kedua,  banyak hal yang tidak diinginkan oleh Amerika terjadi. Diawali dengan serangan Jerman pada jalan menuju kota Bastogne yang merupakan satu-satunya akses jalan untuk menyampaikan suplai melalui jalur darat. Jerman yang beraggotakan 120.000 pasukan yang terdiri dari infantri, kavaleri dan artileri benar-benar mengepung serdadu Amerika yang hanya diperkuat 11.000 pasukan saja. Akibatnya kondisi tentara Amerika disana menjadi parah dan moral prajurit-prajuritnya kritis. Ransum K, peralatan, amunisi, baju hangat, dan obat-obatan sangat minim. Keburukan ini semakin sempurna dengan kondisi cuacanya. Setiap saat suhu berada dibawah titik nol. Jumlah cuaca cerah sangat jarang sekali sehingga kabut tebal menyelimuti hutan Ardennes terus menerus. Hal ini mengakibatkan tertutupnya jalur suplai melalui udara ke kota itu. Prajurit Amerika yang ditempatkan di garis depan juga tidak diperkenankan untuk membuat api saat malam untuk menghangatkan tubuh karena tiap kali musuh melihat kehadiran api mereka akan langsung memberondongkan senapan mesin ke lokasi itu. Sehingga banyak tentara yang mencuri seprai atau karung goni dari kota. Sudah banyak serdadu yang gugur. Tetapi sayang, mayat mereka tidak bisa dikuburkan dengan baik sehingga hanya di tumpuk di terotoar-terotoar kota Bastogne.Situasi Jerman memang sangat kontradiktif dengan Amerika. Dimana semua kebutuhan tercukupi bahkan melimpah disana. Tak heran bila Jerman sering menghujani tentara amerika yang berada di hutan Ardennes dengan peluru meriam Howitzer saat siang dan malam.Secara psikologi mereka baik, dan peluang untuk menang berat di tangan mereka. Semua hal membuat Amerika hanya bisa duduk dalam posisi bertahan.
            Letnan Swift akhirnya tiba di Bastogne. Ia langsung menemui Kolonel Sink sedangkan Prajurit Sean yang terluka segera di bawa ke dalam sebuah gereja tua yang telah diubah fungsinya menjadi rumah sakit sementara dan ditangani seorang suster. Yeah, hanya ada suster setempat yang terpanggil hatinya untuk menolong orang dalam gereja tersebut. Setelah jerman menangkap kompi medis ke 236 beberapa hari lalu, pihak Amerika sangat kekurangan dokter-dokter yang dibutuhkan.
“Bagai mana hari-harimu, Swift?”, tanya Kolonel Sink.
“Tak lebih baik dari kemarin, pak. Dua prajuritku tertembak tadi saat melakukan patroli tempur.”
“Aku lihat hanya satu orang tadi yang di evakuasi kesini.”
“Dia adalah seorang yang beruntung. Dia hanya mendapat luka kecil di kakinya. Prajurit Evan Dunn tewas ditembak penembak jitu Jerman di dada kiri dan tak sanggup kami evakuasi karena senapan-senapan Jerman tak habis-habisnya menyerang kami saat itu, pak. Saya terpaksa menarik mundur pasukan dan meninggalkannya disana sendirian.”
“Tak ada pilihan lain memang, letnan.”
“Ya, tak ada pilihan lain, pak.”
Hening sejenak. Kolonel Sink mengambil rokok dan menyalakannya. Ia menghisap satu dua kali lalu menghembuskan asapnya ke udara yang dingin.
“Omong-omong, alasanku memanggilmu kesini adalah untuk memberikanmu tugas baru.”, kata Sink sambil mengambil peta dari kantong jaket parasitnya.
“Apakah itu, pak?”
“Sekitar 1800 yard dari timur kota Bastogne terdapat jembatan diatas sungai Wilez. Ini adalah objek vital yang di incar Jerman untuk menyerang kita. Sebenarnya serdadu-serdadu dari resimen 501 menjaga lokasi itu. Namun tanggal 23 Desember Jerman melancarkan serangan gerilnya kesana dan membuat serdadu-serdadu tersebut koalahan dan menjadi lemah. Maka Jendral McAuliffe memutuskan untuk menariknya mundur ke kota ini. Aku mau kau membawa satu regu ke sana untuk menjaganya sementara.”
“Berapa banyak orang yang boleh aku ikut sertakan, pak?”
“Jangan lebih dari tujuh orang. Kau tahu sendiri letnan bahwa kita harus memfokuskan pertahanan di garis depan kita sebelah timur laut hutan Ardennes sebab disanalah posisi terdekat dengan kota Foy, tempat persetan-persetan itu berada. Oh ya, jangan lupa ikut sertakan prajurit yang bertuhas untuk membawa radio. Aku tak mau koneksi ku ke jembatan itu putus.”
“OK, baiklah. Bagai mana dengan tenaga medis?”
“Sayang sekali kau tak di ijinkan untuk membawa salah satu dari mereka karena kita sangat membutuhkannya disini. Hmm, mungkin apabila ada prajurit yang mempunyai dasar-dasar pengobatan kau boleh merekrutnya.”
“Baik. Dimengerti, kolonel”
“Oh, letnan. Bawa peta ini. Itu akan mengantarmu kesana.”
“Terimakasih, pak.”
“Tiga jam lagi aku mau kau sudah berposisi disana. Pergilah letnan. Tuhan besertamu dan pasukanmu.”
            Letnan Swift pun pergi meskipun sebenarnya ia masih menyimpan ragu dalam hatinya. Delapan orang saja menurutnya tak cukup kuat untuk bertahan jika tiba-tiba tentara Nazi datang menyerang. Namun sebagai seorang serdadu, ia harus patuh pada perintah; dan sebagai seorang perwira ia harus meyakinkan ke anak buahnya bahwa tugas yang diberikan adalah suatu hal yang dapat diselesaikan.
            Ia pun kembali ke jip. Kopral Doc dan Prajurit Hanks sudah menunggunya untuk kembali ke garis depan. Berbeda dengan perjalanan menuju kota, kali ini Swift menggunakan kesempatan tersebut untuk mengobrol dengan Doc tentang misi yang baru saja ia terima itu.
“Kau dapat P3K apasaja dari kota, dok?”, tanya Letnan Swift.
“Tak banyak, pak. Hanya sekantong plasma, gunting, dan beberapa sobekan kain seprai untuk perban. Sampai saat ini aku masih mencari morfin tambahan. Hanya ada satu di tasku.”
“Minim sekali persediaan kita, kopral. Hah..”, Swift menghela nafas.
“Tempat nini sudah seperti neraka.”, lanjut Swift.
“Yeah, neraka putih yang dingin, letnan.”, tanggap Doc.
“Oh, Doc. Kau punya kenalan seorang prajurit yang mempunyai pengetahuan dalam hal medis?”
“Hmm, sepertinya aku tahu siapa orangnya. Prajurit Turner dari Kompi Dog mungkin orang yang tepat, letnan. Ia datang dari Medford, Oregon. Ayahnya adalah seorang dokter bedah terkenal di kota itu. Beberapa hari lalu aku mengobrol dengan dia. Katanya sebelum perang ia sering membantu ayahnya mencuci alat-alat oprasi dan membersihkan ruang prakteknya. Ia juga mengerti pengetahuan-pengetahuan dasar tentang kedokteran. Tapi letnan..”
“Kenapa?”
“Ia sebenarnya adalah juru ketik perang yang baru-baru ini di posisikan d garis depan karena kurangnya orang. Jadi kurasa pengalamannya di pertempuran sangat sedikit.”
“Tak apa, kopral. Bisa kau panggilkan dia untuk menghadap menemui ku setelah kita sampai?”
“Baik, pak. Segera ku kerjakan nanti.”
            Lima belas menit kemudian mereka sampai kegaris depan dimana seharusnya mereka diposisikan. Doc langsung mencari Prajurit turner sedangkan Swift memanggil Sersan Jose Ramirez untuk mencarikan orang-orang yang akan dikumpulkan dalam satu regu berjumlah delapan untuk tugas barunya itu.
“Ramirez! Sersan Ramirez.”, panggilnya.
“Ya. letnan. Ada apa?”, Ramirez yang sedang mengobrol dengan dua prajurit di lubang perlindungannya segera bergegas.
“Kemari kemari. Panggil kan nama-nama yang kusebutkan dan berkumpul kembali kesini. Kita akan briefing untuk tugas baru. Kopral Walter, Kopral Taylor, ‘Ripper & Zipper’ bersaudara, dan Prajurit Frank. Cepatlah.”
            Ramirez kemudian pergi menembus kabut. Tak lama kemudian Turner datang melapor. Swift memberikannya pengarahan singkat tentang tugas barunya terlebih dahulu dan memberikan satu tas yang berisikan obat-obatan pertolongan pertama. Sekitar lima menit kemudian Sersan Ramirez dengan serdadu-serdadu yang diminta Letnan Swift menyusul.
“Baik. Berkumpul, tuan-tuan. Siang tadi saya mendapat tugas baru dari dari Kolonel Sink untuk mengirim satu regu yang ditugaskan menjaga sementara sebuah jembatan diatas sungai Wilez dan kalian adalah orang-orang yang beruntung untuk melaksanakan tugas ini bersama saya.”
“Izin berbicara, pak.”, kata Kopral Walter.
“Diberikan.”
“Delapan orang saja menurutku kurang, pak.”
“Bagi delapan anak dua belas tahun, iya. Tapi delapan serdadu Lintas Udara 101 menurutku cukup.”
“Bagaimana jika Jerman tiba-tiba menyerang, letnan?”, tanggap Frank.
“Itu sebabnya saya memanggil Kopral Taylor dalam misi ini. Kita tak akan kehilangan komunikasi dengan Kolonel Sink di kota.”
“Dan tenaga medis, pak?”
“Oh, saya hampir lupa. Perkenalkan disebelah saya ini. Prajurit Turner. Dia memang bukan anggota palag merah. Namun dia mengerti tentang pengobatan. Dia yang akan menangani kita saat kita terluka. Benar begitu prajurit?”, tanya Swift sambil melirik ke arah Turner
“I-i-i ya, pak”, jawab Turner gugup.
“OK. Tak ada yang perlu di kuatirkan lagi dari tugas ini, saudara-saudara. Jam sekarang menunjukan pukul satu siang lebih lima belas menit dan harus sampai kesana jam tiga tepat.ita tidak akan pergi kesana melalui kota. Kita akan memotong jarak dengan menyusuri hutan ini ke arah selatan sejauh 2400 yard. Sebaiknya kita bersiap-siap dan bergegas. Bubar.”
            Selang beberapa menit kemudian mereka memulai perjalanannya. Regu ini memang sedikit, namun diperkuat oleh tentara-tentara yang cukup terlatih. Prajurit George ‘Ripper’ Burns dan saudaranya Prajurit Garry ‘Zipper’ Burns adalah penembak senapan mesin kaliber tigapuluh yang sangat tangguh. Mereka berbadan besar dengan tinggi 196 sentimeter. Mereka mendapat julukan “Ripper & Zipper” karena aksi hebat dan heroiknya dalam Operasi Market Garden di Belanda yang mengahabisi satu peleton tentara Jerman sendirian. Sedangkan Kopral Taylor adalah seorang ahli dalam kominikasi. Ia hafal puluhan jenis sandi dan telah mendapat medali Silver Star karena melaksanakan tugasnya dengan sangat baik ketika di terjunkan tanggal 6 Juni 1944 subuh dalam Operasi Overlord. Prajurit Frank Gordon adalah seorang penembak jitu berkaliber besar. Belum pernah ada topi baja tentara Nazi yang tidak bolong ketika berhadapan dengannya.
            Dalam perjalanan, mereka saling mengobrol, membicarakan tentang pacar atau istri mereka yang mereka tinggalkan sendiri di kampung halamannya, ultimatum Jerman baru-baru ini kepada tentara Amerika yang terjebak di kota Bastogne untuk menyerah daripada pihak Amerika jatuh ke kehancuran total dan surat jawaban untuk Jerman dari Brigadir Jendral Anthony McAuliffe yang hanya berisi satu kata’NUTS!’, kejadian-kejadian bodoh saat perang, dan lain-lain. ‘Ripper & Zipper’ juga sering membuat lawakan-lawakan bodoh yang membuat regu tersebut tertawa terbahak-bahak. Namun ketika mereka menikmati kebahagiaan tersebut, ada suara tembakan senapan Mauser 98K datang dari arah teritori musuh melintasi kabut yang jarang.
Sniper!!!”, teriak Frank.
“Merunduk! Semua merunduk!”, perintah Letnan Swift.
“Medik! Demi Tuhan, medik! arrrghh!!”, rintih Ripper. Paha kanan atasnya terkena tembakan tersebut.
“Ripper tertembak!”, teriak Ramirez.
Lalu terdengar sekali lagi letusan senapan penembak jitu Nazi tersebut dan nyaris mengenai pinggir topi Ramirez.
“Berengsek!” , teriaknya kaget.
“Lemparkan granat asap dan segela pergi menjauh dari tempat ini!”, perintah Swift
            Granat asap pun mengepul, membuat kabut seakan makin pekat. Mereka semua lari lebih masuk ke dalam hutan Ardennes. Zipper dan Turner menyeret Ripper dan kemudian membaringkannya. Darahnya banyak dan meninggalkan jejak di salju.
“Aku tak mau mati Garry, aku ingin pulang dari perang ini bersama mu.”, tangis Ripper.
“Kau akan baik-baik saja, dik. Kita akan bertemu ibu kembali setelah perang.”, kata Zipper sambil menahan air matanya
 Sementara itu Turner mencoba menyelamatkan pasien pertamanya. Tangannya gemetaran, ia tidak biasa melakukan hal itu.
“Demi Tuhan, segalanya terasa dingin sekali sekarang.  Aku tidak ingin mati sekarang, tidak disini.”, Ripper melanjutkan.
“Bertahan lah adikku, bertahanlah!”, kata Zipper sambil memeluk kepala adiknya itu.
            Turner akhirnya mengeluarkan sepotong kain dari tasnya untuk mengikat kaki Zipper dan menghentikan darahnya. Namun ia tak melakukan apa-apa. Ia hanya terdiam disitu melihat Zipper yang selalu menguatkan adiknya yang arwahnya sedang pelan-pelan meninggalkan tubuhnya. Ripper pun meninggal. Zipper menanggis keras sambil memeluk jasad adiknya itu.
“Sepertinya pelurunya mengenai pembuluh nadinya.”, jawab Turner polos.
“Sebaiknya kita tinggalkan dia disini.”, lanjut Turner sambil mengeluarkan kain terpal lebar untuk menutup mayat itu.
“Bajingan kau!”, ucap Zipper kepada Turner sambil  mendorongnya dengan keras ke tanah dan menghajarnya.
“Sudah tak sanggup menyelamatkan nyawa adikku! kau ingin tinggalkan dia sendirian dihutan keparat ini, hah!”, Zipper emosi sambil memukul beberapa kali muka Turner.
“Akan kulubangi kepalamu!”, lanjut Zipper. Ia lalu mengambil pistol Luger yang ia ambil dari mayat tentara Jerman yang dibunuhnya saat di Perancis dan menembakannya dua kali di samping telinga kiri Turner.
“Hey! Cukup Zipper! Kendalikan amarahmu! Aku tak ingin jatuh korban lagi karena suatu tindakan bodoh!”, kata Letnan Swift sambil menarik tubuh Zipper dari belakang.
“Turner benar. Kita tidak mungkin membawa jasadnya selama kita perang sampai ke Berlin nanti. Dia sudah mati, dan tak akan hidup kembali meskipun kau melubangi kepala Turner, Zipper. Sudahlah!”
            Akhirnya Swift mencabut kalung pengenal Ripper dan mengantonginya. Zipper terduduk di bawah pohon dan menahan tangisnya. Kopral Walter dan Frank menggali lubang untuk menguburkan Ripper yang sebenarnya akan memakan waktu cukup lama tetapi dilakukan karena ini permintaan Zipper yang di setujui Letnan Swift untuk menguburkan jasad adiknya secara pantas.
            Mereka lalu melanjutkan perjalanan dansampai pada jembatan itu jam tiga lebih tiga puluh sore. Kopral Taylor menyambungkan komunikasi ke Kolonel Sink agar Letnan Swift bisa melapor. Kolonel Sink bentanya mengepa Swift bisa meleset tiga puluh menit dari waktu yang di berikan. Namun setelah Swift menceritakan kejadian menyedihkan yang dialami regu tersebut, Kolonel Sink dapan memakluminya. Sementara itu prajurit yang lainnya menggali lubang perlindungan di sisi kanan dan kiri jalan sebelum jembatan. Zipper juga menempatkan Senapan mesin kaliber tiga puluhnya sendirian. Hal ini merupakan tindakan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya ketika adiknya itu masih hidup.
            Beberapa jam yang hening berlalu. malam pun tiba. Mereka masih terpukul oleh kematian kawannya tadi. Namun sebagai seorang pemimpin, Letnan Swift tetap menunjukan ketegarannya. Di dalam hatinya ia berkata “Tangisanku cukup dihati saja. Tak perlu ku ekspresikan dengan wajahku”.
            Jam di tangan Swift telah menunjukan pukul sembilan malam.Sebagian anak buahnya sudah tertidur. Ia telah memutuskan bahwa malam pertama itu bagiannya untuk jaga malam, baru malam selanjutnya prajuritnya yang bertugas. Sambil meneguk kopi dingin yang ia buat tadi sore, ia berkeliling sejenak di sekitar lubang-lubang perlindungan anak buahnya.
“Turner? Kau belum tidur?”, tanyanya.
“Ya, letnan. Begitulah”
“Boleh aku bergabung?”
“Tentu, pak”
Swift kemudian duduk di lubang perlindungan Turner.
“Kau merindukan Medford, nak?”, tanya Letnan Swift.
“Sangat, pak. Aku baru saja mempunyai pacar ketika aku masuk ketentaraan ini pak. Aku berjanji akan menikahisa ketika aku pulang nanti. Dia bernama Kitty.”, jawab Turner sambil menunjukan foto Kitty yang ia selipkan di topi bajanya.
“Omong-omong, bagai mana kau mengetahui bahwa aku dari Medford, pak?”
“Aku berbincang dengan Kopral Doc tadi siang ketika ingin merekrutmu dalam misi ini.”, jawabnya sambil tertawa kecil.
“Kau sendiri berasal dari mana, pak?, tanya Turner kembali.
“Saya dari Des Moines, Iowa. Aku pun sama seperti mu, nak. Istri ku baru mengandung anak kedua ku saat ini dan anak pertama ku baru sekolah dasar. Aku sangat ingin pulang, sama sepertimu prajurit. Tapi aku suka kata-kata Jendral Patton. Jalan menuju rumah hanya melalui kota Berlin dan Tokyo. Yeah, jalan pulang adalah dengan menyelesaikan perang ini dan misi-misinya yang diberikan pada kita. Maka dari itu aku optimis akan misi ini. Karena istri dan anak ku selalu ada dalam benakku.”
Mereka hening sejenak sampai Turner memecahnya dengan topik obrolan yang baru.
“Aku sebenarnya mempunyai fobia darah, letnan. Itu mengapa aku hanya terdiam ketika Ripper tertembak tadi. Aku sangat tidak bisa menerima perlakuan Zipper pada ku tadi siang.”
“Mungkin kau harus memaafkan Zipper. Kau tahu, ada cerita menarik tentang mereka sebelum perang ini.”
Turner memberikan perhatian penuhnya pada ucapan Letnan Swift.
“Sebenarnya Ripper Zipper bersaudara datang dari keluarga kaya dimana ibu mereka sangat galak dan posesif. Ia tidak membolehkan anak-anaknya ikut dalam perang ini. Namun Zipper yang kala itu masih berusia 18 tahun berjanji dengan teman-temannya untuk mendaftar ke West Point untuk menjadi tentara sukarela. Pada suatu hari, pagi-pagi benar ia diam-diam berkemas-kemas untuk pergi bersama teman-temannya itu. Sayang, Ripper yang terbangun karena ingin kencing memergoki tindakan kakaknya yang mencurigakan itu. Zipper lalu mengatakan bahwa ia akan pergi mendaki gunung dan berkata bahwa ia telah memperbincangkan acara itu dengan ayah dan ibunya semalam. Bodohnya ia juga menanyakan Ripper apakan ia ingin ikut dengannya atau tidak. Karena Ripper seorang pramuka, ia sangat senang dengan ajakan itu dan langsung ikut berkemas. Seketika Zipper sangat ketakutan, karena memang sebenarnya kedua orang tuanya tidak tahu mengenai rencana ini. Waktu Ripper berkemas-kemas, ia diam-diam menuju dapur dan mengambil kertas. Di kertas itu ia menuliskan ‘Ibu, ayah, aku akan pergi berperang. Aku juga mengajak George. Aku akan menjaganya. Kita berdua akan pulang kerumah setelah perang’. Lalu kertas itu ia taruh di kursi tempat ayahnya biasa duduk. Mereka pun pergi bersama tiga teman Ripper yang telah menunggu di luar rumah. Namun dalam perjalanan, terjadi perselisihan diantara mereka. Ripper akhirnya mengetahui tentang semua yang terjadi dan tiga temannya yang tadinya perambisi untuk ikut peperangan di Eropa, beralih pikiran untuk ikut peperangan di Pasifik. Sementara Zipper tetap bersikeras pada pendirian awalnya. Akhirnya mereka berpisah. Teman-teman Zipper menuju pusat pelatihan Marinir di San Diego dan Ripper Zipper menuju pusat pelatihan kita di New York. Itu mengapa Zipper merasa sangat bertanggung jawab atas hidup adiknya.”
“Cerita yang sangat menarik, pak. Aku mengerti mengapa dia melakukan itu kepada saya tadi siang.”
“Hahaha. Ku harap cerita itu dapat membuatmu tertidur malam ini. Aku harus kembali ke lubang pertahanan ku untuk mengawasi sekitar lagi.”
Turner tersenyum pada Letnan Swift. Swift lalu melanjutkan jaga malamnya.
            Hari berikutnya tanggal 25 Desember 1944. Natal kali itu terjadi sangat membosankan. Tak ada hiasa, kado, permen, atau pun kue jahe. Yang mereka lakukan selain menjaga, melihat pepohonan hutan Ardennes, air sungai Wilez, dan salju-salju Belgia itu. Hari pun terasa panjang. Namun sepanjang apapun hari, ia akan lelah dan malam harus menggantikannya. Kali ini prajurit Frank yang bertugas untuk jaga malam.
            Malam semakin larut dan regu tersebut kembali tertidur dalam dinginnya malam. Frank tetap  siaga. Seperti layaknya penembak jitu yang di haruskan siaga setiap saat, matanya selalu tajam. namus sekitar jam sebelas malam, ia mendengar suara mesin dan melihat semak-semak pohon yang bergerak di sebrang jembatan. Ia lalu mengintip melalui teleskop pada senapan M 1 Carbinenya. Dengan sangat jelas ia melihat tank Tiger Jerman sedang mengarah ke posisi mereka.
“Tiger!! Tiger!! Tiger!!”, keluar lubang perlindungannya dan membangunkan teman-temannya.
Namun tindakan Frank tersebut malah memberi tahu posisi mereka kepada tank Tiger tersebut. Sehingga tank tersebut menembakan pelurunya ke arah mereka. Dan seketika mengenai lubang perlindungan Kopral Taylor dan radionya.
“Sial! Setan itu membunuh Taylor dan akses komunikasi kita!”, kata Ramirez.
“Semuanya! Tetap di posisi! Bersiap untuk menembak!”, perintah Letnan Swift
Bum! Sekali lagi Tiger itu menembak ke arah mereka. Namun kali ini meleset. Tentara infantri Jerman mulai terlihat banyak dan mulai menghujam posisi Letnan Swift dan regunya.
“Kita kalah jumlah, letnan. Mereka ada sekitar dua kompi pasukan infantri dan satu pleton tank penghancur!”, Frank memberi informasi.
Bum! tembakan ketiga dari tank itu makin meyakinkan regu itu bahwa mereka sangat terjepit.
“Demi Tuhan! Tank terkutuk  itu harus segera hancur!.”, ucap Kopral Walter.
“Zipper! Beri aku tembakan perlindungan! Aku akan hancurkan tank itu!”, lanjut Walter.
“Baik! Menunggu aba-abamu!”
“Sekarang!”
“Demi adikku, enyahlah kau bangsat-bangsat Jerman!!!,”
            Walter lalu berlari ke arah tank tersebut yang sudah berada di tengah-tengah jembatan. Ia membuka pintu masuk tank tersebut dan menjatuhkan dua buah granat kedalamnya. Tank tersebut terbakar dan menjadi bangkai, akibatnya tank-tank jerman lainnya tidak bisa menyeberangi sungai tersebut. Walter pun kembali. namun dalam perjalanannya dua peluru Jerman menembus punggungnya dan langsung mengenai hati dan ginjalnya.
“Turner! Selamatkan Walter!”, perintah Letnan Swift.
Regu pun memberi tembakan perlindungan dan kali ini Turner memberanikan diri untuk memeriksa Walter. Namun sayang ketika ia sampai Walter telah mati. Ia lalu kembali dengan hanya membawa kalung pengenal Walter dan memberikannya ke pada Letnan Swift di lubang perlindungannya.
“Persetan! Walter telah mati, letnan!”, lapor Turner.
“Kita hanya berlima sekarang! Kita tak mungkin menahan serangan ini lebih lama lagi! Harus ada yang melapor ke kota dan meminta bantuan atau mereka akan membumihanguskan Bastogne!”
“Biar aku saja, letnan!”, kata Turner pada Letnan Swift.
“Apa?!”, Letnan Swift tak bisa mendengar dengan jelas. Bisingnya suara tembakan Jerman dan tank-tank Tiger menyamarkan suara Turner.
“Biar aku yang melakukannya, pak!”, kata Turner di di telinga Letnan Swift.
“Bagaimana dengan bagian medis disini?!”, tanya Letnan Swift.
“Kurasa saat seperti ini medis sudah tak diperlukan lagi, letnan!”
“Hahaha. Aku setuju denganmu prajurit. Aku akan merekomendasikanmu menjadi koprla kalau aku masih hidup dari sini.”, canda Letnan Swift
“Jadi, bagaimana kau melakukannya?”, lanjut Swift.
“Berikan saja surat! Lalu ku antarkan ke Kolonel Sink!”
            Letnan Swift merogoh kantongnya untuk mencari kertas. namun yang ia dapatkan malah peta yang diberikan Kolonel Sink. Laku ia mengambil pensil dan menuliskan ‘KRAUTS!’ pada lokasi tempa mereka berada di peta itu dan sedikit keterangan tentang musuh.
“Ini! Bawa ini bersamamu! Kami akan memberikan tembakan perlindungan ketika kau siap.”
“Aku siap kapan saja, letnan!”
“Baiklah. Tembakan perlindungan!”
            Selagi Turner keluar dari lubang perlindungan itu, Letnan Swift, Sersan Ramirez, Zipper, dan Prajurit Frank memberikan tembakan perlindungan. Tetapi ketika ia berlari pergi, paha kirinya tertembak. Ia terjatuh, namun segera berdiri lagi. Tak satu pun tentara Amerika mengetahui bahwa ia tertembak saat itu.
            Ia lalu berusaha berlari dengan kaki pincangnya. Berlari dan berlari. Akhirnya ia sadar bahwa ia tak mungkin menyusuri jalan sejauh 1800 yard menuju kota Bastogne itu. Ia tak sengaja melihat ke arah sungai Wilez yang berada di sebelah kiri jalan. Ia melihat betapa derasnya arus sungai itu. Ia lalu berpikir “Sungai itu akan membawaku lebih cepat ke kota.”. Tanpa pikir panjang ia berjalan menuju sungai itu dan menghanyutkan tubuhnya dan tangannya yang memegang peta dari Letnan Swift itu, ia masukan di kantong jaket. Ia tahu bahwa Ia akan mati karena hipotermia dalam beberapa menit karena dinginnya suhu air sungai itu atau terbentur batu-batu besar. Namun ia tetap melakukannya, karena itu merupakan tindakan yang tepat menurutnya.
“Aku mungkin tetap hidup bila aku berjalan seperti tadi, tapi tentara Amerika di Bastogne tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menghadapi serangan Jerman itu. Yeah, lebih baik nyawa satu orang menjadi sangat berarti untuk banyak orang daripada nyawa seribu orang sangat berarti bagi satu orang saja. Dan untuk ketakutanku pada darah kemarin, akan kubayar dengan ketidaktakutanku pada kematianku malam ini. Cukup aku yang tahu akan hal ini. Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal Medford. Selamat tinggal, Kitty.”
            Tanggal 26 Desember subuh ternyata  Letnan Jenderal George Patton dan Pasukan Tank Penghancur ke 3 nya sedang dalam operasi untuk membuka jalan suplai kembali ke kota Bastogne. Mayat Prajurit Turner segera di evakuasi oleh prajurit jaga malam pada kota itu dan pesan segera di sampaikan ke Kolonel Sink. Kolonel Sink lalu memberikannya ke Brigadir Jenderal McAuliffe. Brigadir Jenderal McAuliffe membicarakannya dengan Letnan Jenderal George Patton setibanya di kota Bastogne. Strategi baru segera dibuat dan sejumlah tentara yang merupakan gabungan dari Divisi Pasukan Lintas Udara 101, Divisi Kendaraan Lapis Baja ke 10, Batalyon Tank Penghancur ke 705, dan Pasukan Tank Penghancur ke 3 dikirim menuju jembatan itu. Tentang nasib keempat serdadu disana? Tak ada yang tahu. Status mereka dinyatakan hilang dalam perang. Yang pasti mereka berjuang dengan baik dan kota Bastogne tidak dapat di bumi hanguskan oleh Jerman sampai Perang Dunia kedua ini berakhir.

Fin..
 For the bigger picture, click here http://ww2-pictures.com/bastogne-map-december-1944.jpg

Thanks for the attention..=]

No comments:

Post a Comment